Setiyono, Setiyono (1997) Pengaruh aliran-aliran hukum pidana terhadap sistem pemidanaan menurut rancangan KUHP baru. Jurnal Ilmu Hukum Pandecta (2).
Full text not available from this repository.Abstract
Pemikiran kembali terhadap aliran-aliran dalam hukum pidana, dalam kaitannya dengan sistem pemindaan menurut Rancangan KUHP Baru diharapkan akan diperoleh manfaat dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Pembicaraan ini akan direlasikan dengan masalah sistem pemindanaan menurut Rancangan KUHP Baru. Apabila pengertian pemidanaan diartikan sebagai suatu proses penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapat dikatakan bahwa sebagai sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi pidana. Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai Hukum Pidana Substantif, Hukum Pidana Formal, dan Hukum Pelaksanaan Pidana merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan.
Tulisan ini tidak memberikan relasi dan relevansi aliran-aliran dalam hukum pidana terhadap keseluruhan sistem pemidanaan dalam pengertian tersebut di atas, akan tetapi hanya membicarakan pengaruh aliran-aliran tersebut dengan sistem pemidanaan menurut Rancangan KUHP Baru.
Aliran-aliran dalam hukum pidana, yang disebut pertama kali adalah aliran klasik dengan tokohnya Cesare Becaria dan Jeremy Bentham. Aliran ini muncul pada tahun ke XVIII, yang lebih merupakan reaksi terhadap ancient regime yang arbitrair, yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan dan ketidakadilan dalam hukum. Aliran ini menghendaki hukum pidana yang tersusun sistematis dan menitik beratkan pada kepastian hukum. Dengan pandangannya yang indeterminitis mengenai kebebasan kehendak manusia, aliran ini menitik beratkan pada perbuatan. Dalam perkembangannya menimbulkan aliran Neo Klasik.
Kemudian pada abad ke XIX timbul aliran modern yang pusat perhatiannya adalah orang yang melakukan tindak pidana (si pembuat tindak pidana). Aliran ini dalam mencari sebab-sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud langsung untuk mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh masih diperbaiki. Oleh karena itu aliran ini sering disebut aliran positif. Menurut aliran ini perbuatan seseorang tidak dapat dilihat secara abstrak dari sudut yuridis semata-mata terlepas dari orang yang melakukannya, tetapi harus dilihat secara konkret bahwa dalam kenyataan perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis maupun faktor lingkungan sosialnya. Aliran modern ini dipelopori oleh Lombroso.Lacassagne dan Encrio Ferri. Dalam pengembangannya setelah perang dunia II timbul aliran Social Defence, yang tokohnya F. Gramatica dan MaroAncel.
Bertitik tolak dari uraian tersebut, kini muncul pertanyaan yang besifat praktis:” Adakah guna, relasi dan relevansinya menyimak, memikirkan pokok pikiran dari aliran-aliran dalam hukum pidana dengan dan bagi pembaharuan hukum pidana Indonesia, khususnya terhadap sistem pemidanaan menurut Rancangan KUHP Baru ?”.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut kiranya kita dapat bertitik tolak dari pandangan tentang pidana itu sendiri. Jeremy Bentham menyatakan bahwa pidana hendaknya jangan digunakan apabila tidak mendasar (groundless), tidak dibutuhkan (needless), tidak menguntungkan (unprofitable), dan tidak efektif (ineffective) (Nigel Walker, 1972 :44,45). Herbert L. Packer menyatakan bahwa pidana itu bisa menjadi penjamin yang utama (Prime Guarantor) apabila digunakan secara cermat, hati-hati (providently) dan secara manusiawi (humanly). Akan tetapi sebaliknya pidana bisa menjadi pengancam yang membahayakan (Prime Treatener) apabila digunakan secara “indiscriminately” dan “coercively” (Muladi, 1990). Dari pendapat tersebut diatas jelas bahwa pidana hendaknya digunakan bila memang benar-benar mendasar dan dibutuhkan. Dan pidana itu akan bermanfaat apabila digunakan dalam keadaan yang tepat. Apabila penggunaan pidana tersebut tidak benar akan membahayakan atau menjadi pengancam yang utama. Sebaliknya akan menjadi penjamin yang utama apabila digunakan secara cermat, hati-hati, dan secara manusiawi. Kemudian pada pihak lain, pembaharuan hukum pidana tidak hanya semata-mata didasarkan pada tujuan mengurangi kejahatan (reduction of crime), tetapi harus mengandung unsure perbaikan (rehabilitasi) pada diri si pelanggar yang didasarkan pada asas-asas kemanusiaan (humanistis). Sudarto menyatakan bahwa pembaharuan hukum pidana tetap berkisar pada masalah manusia, sehingga ia tidak boleh sekali-kali meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan, ialah kasih sayang terhadap sesame (Sudarto, 1980 : 63).
Hasil uraian tersebut di atas adalah: Pertama, agar mendapat kegunaan yang maksimal, pidana harus digunakan secara cermat, hati-hati, dan manusiawi. Kedua, Pembaharuan Hukum Pidana tidak boleh sekali-kali meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan, dan ketiga, nilai-nilai kemanusiaan menjadi titik sentral dari pengertian pidana dan pembaharuan hukum pidana.
Dengan demikian pertanyaan praktis yang dikemukakan di muka dapat diberikan jawaban hipotesis : “benar, ada kegunaan, relasi dan relevansinya memikirkan pokok-pokok pikiran aliran-aliran hukum pidana dalam kaitannya dengan sistem pemindaan menurut Rancangan KUHP Baru. Dan pemikiran, perenungan serta kontak dengan aliran-aliran tersebut dapat diambil segi-segi positif sebagai masukan bagi pembaharuan hukum pidana Indonesia”.
Item Type: | Article |
---|---|
Additional Information: | Nama : Setiyono NIDN : 0316117501 |
Uncontrolled Keywords: | Hukum pidana, Rancangan KUHP baru |
Divisions: | Fakultas Hukum > S1 Hukum |
Depositing User: | tassa Natassa Auditasi |
Date Deposited: | 20 Feb 2022 10:07 |
Last Modified: | 20 Feb 2022 10:07 |
URI: | https://eprints.unmer.ac.id/id/eprint/2636 |
Actions (login required)
View Item |