Adnyana, I Gusti Ngurah (1997) Peluang-peluang terbatas penggunaan hak mogok. Jurnal Ilmu Hukum Pandecta (2).
Full text not available from this repository.Abstract
Dalam GBHN 1993 dapat diketahui bahwa pembangunan materi hukum nasional diarahkan pada terwujudnya sistem hukum yang mengabdikan diri kepada kepentingan nasional dengan merujuk nilai-nilai sosial budaya yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Hal ini berarti, peraturan perundang-undangan warisan colonial dan hukum nasional yang tidak sesuai dengan perubahan nilai-nilai sosial budaya Indonesia saat ini, dan yang tidak dapat menjamin kesinambunga pelaksanaan pembangunan nasional “harus” dikesampingkan.
Aturan perburuhan yang bertujuan memberikan perlindungan hukum kepada buruh, atau untuk menjaga ketertiban dan menjamin kepastian hukum dalam hubungan perburuhan dengan tidak merugikan kepentingan pembangunan nasional ternyata banyak yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman, misalnya aturan tentang hal mogok, penyelesaian perselisihan perburuhan, dan sebagainya. Dan adanya aturan-aturan di bidang perburuhan yang tumpang tindih dan bersifat teknis operasional yang justru menyimpang dari aturan pokok dan merugikan hak-hak buruh.
Pada dasrnya hukum perburuhan mempunyai dua fungsi, yaitu memberikan perlindungan kepada buruh terhadap tindakan sewenang-wenang dari pengusaha, dan menjaga kesinambungan pelaksanaan pembangunan (ekonomi) nasional. Oleh karena itu di perlukan adanya aturan hukum yang dapat menjamin kepastian hukum terhadap hak-hak buruh secara menyeluruh dan dapat menyeimbangkan kepentingan antara buruh, pengusaha dan pemerintah. Sementara ini masih ditemui adanya aturan-aturan di bidang perburuhan yang justru membatasi atau menekan penggunaan hak-hak buruh, misalnya penggunaan hak mogok.
Tekanan politik dan ekonomi dalam pelaksanaan hukum perburuhan “demi pembangunan nasional” dapat memperlemah posisi buruh bila ingin memperjuangkan hak-hak normatifnya. Harapan buruh untuk memperoleh perlindungan dari pemerintah (Depnaker) sirna apabila dihadapkan dengan aparat penegak hukum beserta prosedur-prosedur formulanya, disamping kekuasaan pengusaha yang besar dan menentukan sehingga dapat menambah “ketidakberdayaan” buruh berhadapan dengan pengusaha untuk menentukan bargaining powernya.
SPSI sebagai organisasi buruh tidak selalu ada dalam suatu perusahaan, dan sekalipun ada tetapi nempaknya belum berfungsi maksimal untuk memperjuangkan hak-hak anggotanya. Sehingga buruh yang secara sosial ekonomis lemah tampaknya lebih antusias untuk melakukan pemogokan kerja sebagai salah satu cara penyampaian tuntunan atau kemauannya agar lebih diperhatikan oleh pengusaha. Pemogokan kerja – istilah sehari-hari disebut unjuk rasa – ini pada dasarnya merupakan tindakan yang terkhir dari pihak buruh terhadap pengusaha akibat dari perselisihan perburuhan yang gagal diselesaikan dengan jalan damai.
Item Type: | Article |
---|---|
Additional Information: | Nama : I Gusti Ngurah Adnyana NIDN : 0710035901 |
Uncontrolled Keywords: | Pemogokan kerja, perselisihan perburuhan |
Divisions: | Fakultas Hukum > S1 Hukum |
Depositing User: | tassa Natassa Auditasi |
Date Deposited: | 20 Feb 2022 07:43 |
Last Modified: | 20 Feb 2022 07:43 |
URI: | https://eprints.unmer.ac.id/id/eprint/2634 |
Actions (login required)
View Item |